oleh :
Riawan Bhirawanto Soetrisno
Kangen Mbah Sukiman alias Mbah Man.
Beberapa saat tadi, iseng2 melihat foto2 jaman masih di
SMP, jadi teringat, ketika thn 1984, masih nyantri di
Jombang.
Saat itu seneng banget numpang Truk tebu, untuk bisa
maen ke Pondok Burengan Kediri, hanya untuk ketemu
Mbah Sukiman, seorang Kakek yang cacat kedua kakinya,
beliau adalah Veteran Pejuang Kemerdekaan.
Beliau adalah sahabat keluarga besar, sahabat kakek, Alm.
Raden Haji Achmad Djojonegoro, sesama pejuang
kemerdekaan.
Setelah Proklamasi kemerdekaan, Kakek melanjutkan
sekolah kedokteran di Unair, Mbah Man tetap
melanjutkan pengabdiannya sebagai tentara,
bersama-sama dengan seorang perwira, Letnan H.
Nurhasan Ubaidah (belakangan Alm H. Nurhasan menjadi
ulama besar di Jawa timur), bertiga, mereka menjadi staf
Logistik, untuk melayani Pasukan Panglima Besar Jendral
Soedirman.
Sebagai seorang perwira Letnan Muda H. Nurhasan,
bertugas menggalang bantuan dan dukungan, dari
kebutuhan dapur hingga persenjataan, sementara Mbah
Sukiman, bertugas mengolah masakan di dapur, sekaligus
sebagai Prajurit Penyerbu.
Seorang anak ABG, usia 14 tahun, nekat numpang truk
tebu, ke kota Kediri, hanya untuk bisa mendengar kisah-
kisah heroisme perjuangan para Prajurit TKR/BKR dari
Mbah Sukiman.
Banyak sekali kisah-kisah keberanian para prajurit TKR/
BKR yang didapat dari Mbah Sukiman, biasanya, saya
membawakan oleh-oleh kue cucur kesukaan kami.
Bila saya datang, Mbah Sukiman langsung memeluk saya,
dari kursi rodanya, dan kami ngobrol bisa sampai
menghabiskan waktu ber jam-jam, dan saya sambil bantu-
bantu Mbah Sukiman.
Siapakah Mbah Sukiman?
Nama aslinya adalah Sukiman, biasa di panggil Mbah Man,
kelahiran Magetan 1925. Sejak belia Sukiman,
mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dengan
menjadi pejuang gerilya. Malangnya, pada tahun 1957,
Mbah Man terkena ranjau ketika berdinas.
Pada usia 32 Thn, Sukiman muda, harus kehilangan kedua
kakinya hingga lutut. Selepas pensiun dari dinas militer
tahun 1961 Sukiman mengabdikan seluruh sisa hidupnya,
di Pondok Pesantren Burengan Kediri, bertugas
memimpin dapur Pondok Burengan Kediri, hingga saat ini
dikenal dengan, dapur Mbah Man.
Seluruh mubaligh dan mubalighot lulusan Pondok
Burengan pasti mengenal Mbah Man karena mbah Man-
lah yang "memberi makan" mereka.
Dengan kondisi cacat tubuh, Mbah Sukiman bersama tiga
rekannya (Alm) H. Sabar, Bpk Ngatemin dan istrinya Ibu
Warsiyem, dengan setia melayani dan menyediakan makan
bagi ribuan santri dan puluhan tamu pondok.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan saat itu,
mereka berempat harus berjuang menghidupkan tungku
dapur mereka untuk terus menghidupi ribuan santri
pondok.
Suatu pagi di bulan Agustus 1988 ribuan santri Pondok
Burengan meneteskan air mata mengantar kepergian
Mbah Sukiman menghadap Sang Maha Pencipta.
Mbah Sukiman kini telah wafat, namun spirit Mbah Man
tidak ikut mati bahkan terus hidup berkobar menyala
sampai hari ini. Mbah Man adalah sosok manusia beriman,
pekerja keras yang ulet dan sabar.
Mbah Man juga simbol kejujuran yang andap asor namun
pemberani.
Sayangnya, saat wafatnya Mbah Man, saya sedang
menimba ilmu di Akademi Militer Magelang, dan hanya
mendapat telgram dari adik sepupu, yang sedang nyantri
di Burengan.
Sehingga saya tidak dapat mengantar kepergian beliau ke
peristirahatan terakhir.
Sedih rasanya, Mbah Man lah yang saat itu banyak
memotivasi saya, untuk menjadi prajurit dan mengabdi
pada NKRI.
Termasuk 2 adik sepupu, yang kini telah menjadi Pamen
senior TNI AD berkarir cemerlang, dan 1 Adek sepupu yg
mengabdi di Polri, dengan Pangkat Pamen senior, dengan
jabatan dan karir yg juga cemerlang.
Kami semua sangat termotivasi oleh Mbah Man.
Ketika mendengar, bahwa saya dapat bergabung di
Akademi Militer Magelang, beliau sangat bahagia dan
bangga, dan bercerita pada siapapun, tentang saya.
Bangga dan bahagia, membayangkan beliau mendapatkan
kedudukan di surganya Allah SWT, karena pengabdiannya
pada agama dan bangsa, amin.., insya allah.
Hingga kini, bila saya dan 3 adek sepupu bertemu dan
kumpul, kami selalu bercerita tentang Mbah man, dan
membahas kenakalan2 dan keusilan2 kami pada Mbah
Man.
Yang sering kami lakukan, adalah menyembunyikan sekop
pengaduk nasi, kesayangan beliau.
Miss you, mbah man....
-tak sadar, menetes air mata, tanda kerinduan pada sosok
Mbah Man..
Semoga sepenggal cerita di atas bisa menambah semangat
daya juang para jamah yang saat ini masih hidup dan
sampai ilaa yaumil qiyamah....ami...n
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺟﺰﺍ ﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ
Riawan Bhirawanto Soetrisno
Kangen Mbah Sukiman alias Mbah Man.
Beberapa saat tadi, iseng2 melihat foto2 jaman masih di
SMP, jadi teringat, ketika thn 1984, masih nyantri di
Jombang.
Saat itu seneng banget numpang Truk tebu, untuk bisa
maen ke Pondok Burengan Kediri, hanya untuk ketemu
Mbah Sukiman, seorang Kakek yang cacat kedua kakinya,
beliau adalah Veteran Pejuang Kemerdekaan.
Beliau adalah sahabat keluarga besar, sahabat kakek, Alm.
Raden Haji Achmad Djojonegoro, sesama pejuang
kemerdekaan.
Setelah Proklamasi kemerdekaan, Kakek melanjutkan
sekolah kedokteran di Unair, Mbah Man tetap
melanjutkan pengabdiannya sebagai tentara,
bersama-sama dengan seorang perwira, Letnan H.
Nurhasan Ubaidah (belakangan Alm H. Nurhasan menjadi
ulama besar di Jawa timur), bertiga, mereka menjadi staf
Logistik, untuk melayani Pasukan Panglima Besar Jendral
Soedirman.
Sebagai seorang perwira Letnan Muda H. Nurhasan,
bertugas menggalang bantuan dan dukungan, dari
kebutuhan dapur hingga persenjataan, sementara Mbah
Sukiman, bertugas mengolah masakan di dapur, sekaligus
sebagai Prajurit Penyerbu.
Seorang anak ABG, usia 14 tahun, nekat numpang truk
tebu, ke kota Kediri, hanya untuk bisa mendengar kisah-
kisah heroisme perjuangan para Prajurit TKR/BKR dari
Mbah Sukiman.
Banyak sekali kisah-kisah keberanian para prajurit TKR/
BKR yang didapat dari Mbah Sukiman, biasanya, saya
membawakan oleh-oleh kue cucur kesukaan kami.
Bila saya datang, Mbah Sukiman langsung memeluk saya,
dari kursi rodanya, dan kami ngobrol bisa sampai
menghabiskan waktu ber jam-jam, dan saya sambil bantu-
bantu Mbah Sukiman.
Siapakah Mbah Sukiman?
Nama aslinya adalah Sukiman, biasa di panggil Mbah Man,
kelahiran Magetan 1925. Sejak belia Sukiman,
mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dengan
menjadi pejuang gerilya. Malangnya, pada tahun 1957,
Mbah Man terkena ranjau ketika berdinas.
Pada usia 32 Thn, Sukiman muda, harus kehilangan kedua
kakinya hingga lutut. Selepas pensiun dari dinas militer
tahun 1961 Sukiman mengabdikan seluruh sisa hidupnya,
di Pondok Pesantren Burengan Kediri, bertugas
memimpin dapur Pondok Burengan Kediri, hingga saat ini
dikenal dengan, dapur Mbah Man.
Seluruh mubaligh dan mubalighot lulusan Pondok
Burengan pasti mengenal Mbah Man karena mbah Man-
lah yang "memberi makan" mereka.
Dengan kondisi cacat tubuh, Mbah Sukiman bersama tiga
rekannya (Alm) H. Sabar, Bpk Ngatemin dan istrinya Ibu
Warsiyem, dengan setia melayani dan menyediakan makan
bagi ribuan santri dan puluhan tamu pondok.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan saat itu,
mereka berempat harus berjuang menghidupkan tungku
dapur mereka untuk terus menghidupi ribuan santri
pondok.
Suatu pagi di bulan Agustus 1988 ribuan santri Pondok
Burengan meneteskan air mata mengantar kepergian
Mbah Sukiman menghadap Sang Maha Pencipta.
Mbah Sukiman kini telah wafat, namun spirit Mbah Man
tidak ikut mati bahkan terus hidup berkobar menyala
sampai hari ini. Mbah Man adalah sosok manusia beriman,
pekerja keras yang ulet dan sabar.
Mbah Man juga simbol kejujuran yang andap asor namun
pemberani.
Sayangnya, saat wafatnya Mbah Man, saya sedang
menimba ilmu di Akademi Militer Magelang, dan hanya
mendapat telgram dari adik sepupu, yang sedang nyantri
di Burengan.
Sehingga saya tidak dapat mengantar kepergian beliau ke
peristirahatan terakhir.
Sedih rasanya, Mbah Man lah yang saat itu banyak
memotivasi saya, untuk menjadi prajurit dan mengabdi
pada NKRI.
Termasuk 2 adik sepupu, yang kini telah menjadi Pamen
senior TNI AD berkarir cemerlang, dan 1 Adek sepupu yg
mengabdi di Polri, dengan Pangkat Pamen senior, dengan
jabatan dan karir yg juga cemerlang.
Kami semua sangat termotivasi oleh Mbah Man.
Ketika mendengar, bahwa saya dapat bergabung di
Akademi Militer Magelang, beliau sangat bahagia dan
bangga, dan bercerita pada siapapun, tentang saya.
Bangga dan bahagia, membayangkan beliau mendapatkan
kedudukan di surganya Allah SWT, karena pengabdiannya
pada agama dan bangsa, amin.., insya allah.
Hingga kini, bila saya dan 3 adek sepupu bertemu dan
kumpul, kami selalu bercerita tentang Mbah man, dan
membahas kenakalan2 dan keusilan2 kami pada Mbah
Man.
Yang sering kami lakukan, adalah menyembunyikan sekop
pengaduk nasi, kesayangan beliau.
Miss you, mbah man....
-tak sadar, menetes air mata, tanda kerinduan pada sosok
Mbah Man..
Semoga sepenggal cerita di atas bisa menambah semangat
daya juang para jamah yang saat ini masih hidup dan
sampai ilaa yaumil qiyamah....ami...n
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺟﺰﺍ ﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ